![]() |
BUANG JONG-Dok AMAIR |
BOGOR-Dibutuhkan
banyak champion lokal untuk membangun
Indonesia dari pinggir guna mewujudkan masyarakat desa yang sejahtera dan
inklusif. Berkenaan dengan itu Partnership-Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan menyelenggarakan pelatihan
untuk para kader dan fasilitator Program Peduli 2016.
Demikian
diungkapkan oleh Project Officer Progam Peduli Kemitraan, Muhammad Bustom saat membuka Pelatihan Generasi peduli untuk
Desa Inklusi di Bogor, Jumat (4/3) kemarin.
“Karena
setelah Program Peduli selesai, maka para kader inilah yang kelak akan melanjutkan inisiatif dan
nilai-nilai gerakan inklusi sosial di
tengah-tengah masyarakat. Karena mereka memang berasal dari komunitas dan desa
tersebut,” kata Bustom.
Pada
pelatihan kali ini kata dia, Kemitraan mengundang sekitar 35 kader peduli dari
13 Provinsi di Indonesia yang bermitra dengan Kemitraan. Pada fase kedua program peduli yang dimulai
tahun 2014 lalu, kemitraan bekerjasama dengan 14 NGO lokal sebagai pelaksana
program, yaitu Kawal borneo Communit Foundation
(KBCF), Desantra, PPSW, MPM Sorong, AMAN Riau, Aman Maluku, Sulawesi Community Foundation
(SCF), Yayasan Tanpa Batas (YTB), Air Mata Air (AMAIR), Yayasan Citra Mandiri
Mentawai (YCMM), Samanta, Pundi Sumatera, Karsa Institute, Rimbawan Muda Indonesia
(RMI).
Sementara itu Team Leader Kemitraan, Moch Yasir Sani menambahkan bahwa untuk Program Peduli ini, pihaknya mengkhususkan diri bekerja pada pilar
Masyarakat Adat yang Tergantung Pada Sumber Daya Alam. Yaitu komunitas Talang Mamak, suku Boti, suku
Bajo, suku Dayak, suku Sawang, suku Topo Uma, suku Naulu, suku Sumba, Tobalo
dan Togaribo, komunitas Mentawai dan Suku Anak Dalam.
Setidaknya
ada tiga permasalahan inklusi sosial yang coba diselesaikan oleh Kemitraan yaitu
yang terkait kebijakan, penerimaan sosial dan pelayanan publik.
Selama
satu tahun terakhir pihaknya mencatat permasalahan umum yang dialami masyarakat
adat adalah ketiadaan pengakuan akan keberadaan mereka terutama dalam
pengelolaan sumberdaya hutan, adanya anggapan bahwa masyarakat adat sebagai
kelompok yang tidak beragama, minimnya pelayanan dasar yang bisa diakses
terutama karena lokasi geografis yang sulit, hingga permasalahan isolasi sosial
yang dilakukan oleh masyarakat sekitar.
“Untuk
itulah, program-program yang dilaksanakan di 45 desa mitra kami mencoba untuk menjawab
permasalahan inklusi tersebut,” tambah Sani.
Dia
menambahkan bahwa program ini juga salah satu cara negara hadir di
tengah-tengah komunitas adat yang selama ini terekslusi, karena Program peduli
ini berada di bawah koordinasi Kementeriaan Koordinator Bidang Pembangunan
Manusia dan Kebudayaan (PMK) Republik Indonesia.
Salah seorang fasilitator dan narasumber kegiatan
tersebut, I Made Budi Astawa mengatakan, secara khusus tujuan
pelatihan ini adalah untuk meningkatkan dan penguatan kapasitas para
Kader Peduli agar mereka memiliki keterampilan dan kemampuan dalam kepemimpinan
dan pemberdayaan melalui pendampingan berbasis inklusi social. Selain itu juga
guna mendorong agar pada kader ini menjadi agen perubahan di level desa,
termasuk memberikan wawasan mengenai UU Desa No 6 tahun 2014 dan implementasinya
serta proses perencanaan desa.
Kader
Peduli dari Desa Selinsing, Belitung
Timur, yang berasal dari Suku Sawang, Ateng Iskandar, mengatakan bahwa selama
ini generasi muda suku Sawang merasa rendah diri, karena stigma negative yang
diberikan masyarakat. Baru setelah mengikuti
berbagai pelatihan dan kegiatan Program
Peduli melalui lembaga Air Mata Air (AMAIR) Belitung Timur, dia dan warga Suku
Sawang mulai tumbuh kepercayaan diri.
“Sejak
itulah saya sadar bahwa sikap masa bodoh kami selama ini merugikan kami dan
justru semakin mempercepat punahnya
budaya kami,” Kata Iskandar.
Fase
kedua program Kemitraan telah mencatat tidak kurang dari 13.900 jiwa komunitas
masyarakat adat lokal terpencil sudah mendapatkan manfaat program Peduli dalam
bentuk akses layanan pendidikan dan kesehatan, serta administrasi kependudukan.
(Rillis)
Text Photo: BUANG
JONG—Salah satu budaya suku sawang yang
hampir punah sehingga membuat Ateng Iskandar salah satu Kader desa Selinsing merasa terpangil untuk tetap
melestarikan budaya nenek moyanngya tersebut.