![]() |
Dipublikasikan di beritasatu.com |
PALU-Potensi kopi Indonesia yang tersebar di berbagai
wilayah hingga di desa-desa terpencil apabila dikelola dengan baik bisa menjadi
kekuatan sekaligus modal kebangkitan perekonomian bangsa.
Demikian diungkapkan Tenaga Ahli Direktorat Pemberdayaan
Usaha Ekonomi Desa (PUED) Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi Republik Indonesia, A. Syaifudin usai menghadiri Festival Kopi
Toratima, di Kecamatan Pipikoro, Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah,
Senin (21/1).
Aroma kopi dari
desa-desa terpencil yang terletak
di jantung Sulawesi tersebut membuat Syaifudin dan salah seorang staff
Direktorat PUED, Kementerian Desa datang ke pelosok desa tersebut. Kementrian
ingin mendorong sejumlah daerah di Indonesia, termasuk 19 desa pemasok utama
kopi di Sulawesi Tengah memanfaatkan lembaga Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)
untuk mengelola potensi desanya masing-masing.
"Desa diberi peluang seluas-luasnya oleh UU Desa No 6
Tahun 2014, untuk mengembangkan potensinya" kata Syaifudin yang turut
mencicipi kopi Toratima, khas dataran tinggi Pipikoro 16-17 Maret 2016 lalu.
Secara umum tidak kurang dari empat jenis kopi yang
dihasilkan dari tanah indonesia, yaitu
Arabica Mt. Arjuna (Javaroma), dan Arabica Garut (Mahkota Jawa Coffe)
sehingga mendapat pujian dari banyak pihak, terutama publik Norwegia yang
paling banyak membeli kopi Indonesia. Ekspor kopi Indonesai kata dia juga ke
Italia yang selama lima tahun terakhir mengalami tren positif sebesar 10,14%.
Secara terpisah, Bupati Sigi, Mohamad Irwan, S.Sos, M.Si
mengatakan bahwa dari statistik ekonomi kabupaten Sigi tahun 2015, jumlah
produksi kopi Pipikoro baru mencapai 152 Ton pertahun, yang dihasilkan dari
luas areal perkebunan kopi 639 Ha. Dengan tingkat produktivitas 420 Kg per
hektar per tahun. Produktivitas perkebunan kopi di Pipikoro merupakan yang
paling tinggi di kabupaten Sigi.
Meskipun masih lebih rendah dibandingkan dengan
produktivitas kopi Gayo, Provinsi Nagroe Aceh dan Lampung yang produktivitasnya
mencapai 1,2 Ton per hektar pertahun, demikian halnya dengan di propinsi
Lampung. Namun kata Iwan potensi
produksi sangat berpeluang meningkat dengan stimulan yang diberikan oleh
pemerintah. Selain itu, Pipikoro juga
memiliki kopi yang unik dan Istimewa, yaitu Kopi Toratima. Bubuk kopi Toratima dijual warga Rp 30.00 per
bungkus 100 gram. Sayangnya biji kopi biasa (robusta) walau pun juga organik,
harganya masih murah dibanding coklat, yaitu hanya Rp 17.000 perkilogram di
pasar Gimpu.
Sekretaris Desa Pelempea, yang juga seorang petani kopi,
Yunus mengatakan, kopi Toratima dalam bahasa setempat berarti “kopi yang
dipungut” penamaan ini merujuk pada tata cara pengumpulan kopi tersebut.
Berbeda dari kopi luak yang dihasilkan secara khusus oleh hewan Luak, kopi
Toratima dihasilkan dari biji kopi yang dimakan mamalia hutan, seperti
kelelawar, tupai, kera, maupun tangali (sejenis musang). Biji-biji kopi yang
dipungut itu tentu sangat istimewa, karena mamalia hutan tadi sangat selektif dalam
memilih buah kopi yang dimakannya.
Karena secara alamiah hewan-hewan tersebut hanya memilih buah kopi
terbaik untuk dimakan. Kopi organik ini biasanya dihasilkan dari sistem
perkebunan agroforestry yang sudah berlangsung ratusan tahun.
Pihak penyelenggara Festival Kopi Toratima Pipikoro, Karsa
Institute melalui Direkturnya Rahmad Saleh, S.Hut menyampaikan bahwa festival
ini adalah rangkaian dari event Program Peduli yang mengusung isu Inklusi
Sosial. Selain itu, festival juga dimaksudkan
sebagai wadah mempertemukan antara pemerintah sebagai pengambil
kebijakan dengan warga desa yang terpencil dan terpinggirkan.
"Ini juga adalalah cara kita menghadirkan negara di
tengah-tengah rakyatnya, sebagaimana nawacita presiden Jokowi," kata
Rahmad. Sebab di event tersebut panitia
juga menghadirkan Bupati dan wakil Bupati Sigi, yaitu Mohamad Irwan, S.Sos,
M.Si dan Paulina, SE, M.Si berikut SKPD-nya, termasuk para anggota DPRD
Kabupaten dan Provinsi, bahkan DPR-RI asal Sulteng.
Meski pun
diselenggarakan jauh dari pusat kota provinsi
Sulteng, festival yang didukung oleh Partnership-Kemitraan bagi
Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia ini dibanjiri tidak kurang dari 3500
pengunjung. Tak hanya warga dari 19 desa
terdekat, tetapi juga warga Palu, para bakcpaker, cross biker, journalist dan
tentu saja para pencinta kopi (coffe lover) dari berbagai wilayah di Indonesia.
"Perjalanan menuju ke sana sangat menantang, kiri kanan
jalan adalah jurang dan gunung dengan ketinggian 1000-1500 diatas permukaan
laut," terang Amrul, videografer
dari Palu yang datang khusus menyerumput
kopi sekaligus membuat video tentang kopi Toratima. (*)
1. KOPI
TORATIMA- Petani Kopi Pelempea, Yunus
(36) menunjukan bijikopi yang baru saja dipungutnya dari tanah, di bawah hutan
kopi yang ditanam dengan pola Agroforestry, Rabu (16/3). Biji-biji kopi inilah
yang kemudian diproses menjadi kopi bubuk Toratima siap menjadi pesaing kopi
luak yang sudah lebih dulu populer. Photo Alexander Mering