![]() |
Asman Azis |
Jakarta-Studi
mengenai pergulatan agama, pariwisata dan ruang hidup masyarakat Dayak Kenyah
di Lung Anai, Kalimantan Timur
mengungkapkan adanya keterkaitan yang sangat erat antara hancurnya
sumber daya alam di Kalimantan Timur (Kaltim) dengan dimulainya operasi militer
pemerintah Indonesia tahun 1965 di sana.
Hal
tersebut diungkapkan Asman Azis, Program Manager Desantara, saat menghadiri
rapat konsolidasi Program Peduli, pilar Masyarakat Adat yang diselenggarakan
Partnership-Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Jakarta, Kamis (1/6)
kemarin.
“Saat itu
jika ada warga yang tidak memeluk agama versi negara, mereka diintimidasi oleh
militer dan dituduh PKI,” tegas Asman yang juga Ketua Lakpesdam NU Kaltim.
Dikatakannya,
pada 1963, saat pemerintah Indonesia melancarkan operasi penumpasan Pasukan
Rakyat Kalimantan Utara (Paraku), disusul dengan peristiwa 30 S/PKI pada tahun 1965, orang Dayak Kenyah yang
tidak memeluk salah satu agama resmi negara bukan saja dicap sebagai PKI,
bahkan banyak yang disiksa serta dibunuh.
Kondisi
inilah yang kemudian kata Asman, memuluskan berbagai praktik eksploitasi Sumber
Daya Alam di Kalimantan, berupa Hak Pengusahaan Hutan (HPH), pertambangan dan
perkebunan bersekala besar yang merugikan masyarakat Dayak, terutama Dayak
Kenyah. Dimana selama 1996-2012 saja, Kaltim kehilangan hutan alam rata-rata
seluas 92.900 hektare per tahun. Sementara secara nasional Indonesia kehilangan
hutan seluas 684.000 hektar pertahun, kondisi ini diperparah lagi dengan
maraknya alih fungsi lahan serta kebakaran hutan yang terus menerus
terjadi.
“Di dalam
salah satu chapter tesis saya itu, secara khusus membahas bagaimana peran
Program Peduli dalam mendorong restorasi nilai-nilai budaya dan pengakuan
terhadap masyarakat Adat Dayak Kenyah.
Saya menyebutnya constructive engagement,” kata Asman.
![]() |
Warga Dayak Berladang di dekat Tambang Batu Bara, di Kaltim |
Penelitian
untuk tesis yang dilaksanakan selama pelaksanaan Program Peduli 2017-2016 di
Lung Anai ini, membuat Asman (yang baru saja menyelesaikan studinya di Center
for Religious and Cross Culture Studies (CRCS), Sekolah Pasca Sarjana UGM)
diundang oleh Royal Norwegian Ministry of Climate and Environment dan UNDP
untuk menghadiri pertemuan Interfaith rainforest initiative di kota Oslo,
Norwegia pada 19-21 Juni 2017 mendatang.
Pertemuan
Lintas Iman, deforestasi dan perubahan iklim ini adalah salah satu agenda
terkait kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Norwegia
tentang RDD+ yang sudah dimulai sejak Mei 2010.
Terpilihnya
Asman untuk menghadiri pertemuan tersebut, juga tidak terlepas dari locus penelitiannya
yang mengambil studi kasus di Kaltim. Dimana hanya tinggal 3 pulau saja di
Indonesia (Sumatera, Kalimantan, dan Papua) yang relatif masih punya hutan,
namun juga sangat cepat laju deforestasinya. Dan hutan di ketiga pulau ini pula
yang masih tersisa dan dapat diandalkan untuk mengurangi efek rumah kaca.
(Mering)