![]() |
ilustrasi |
Oleh:Dewi Yunita Widiarti
Tuk..tuk..,
tuk..tuk,...tuk...tuk
Dalam senyap bunyi
berirama itu terdengar,
Makin lama semakin
terdengar jelas,
Otak sekilat
bekerja, memberi jawab atas sumber suara
“lesung
padi”...lintasan pikiran itu berkelebat
Sementara otak yang
lain tidak juga membenarkan..
Dingin semakin
menjalar ke ujung kaki,
Signal di kepala
memerintahkan tangan untuk menarik kembali selimut
Merapatkannya
hingga menutupi wajah
Sumber bunyi akan
kutanya besok...
Dan akhirnya mata
makin merapat, menjemput mimpi yang tadi terpenggal
Hampir sebagian rumah warga punya bentuk yang sama dengan
rumah milik Agus, Kepala BPD Desa Porelea, Kabupaten Sigi Sulawesi Tengah. Hanya pondasi, lantai ruang bawah dan sedikit
bata di bagian bawah bangunan; selebihnya kayu papan dua lantai beratap seng
yang mulai mengkarat.
Terdapat dua anak tangga kayu untuk naik pada lantai dua
bangunan tersebut. Satu terletak di sisi depan kanan rumah, sedang satu lainnya
terletak di sisi kiri belakang yang langsung menghubungkan dengan pintu
belakang dapur .
Terdapat tiga kamar di lantai dua rumah. Ukuran kamar
tidak lebih dari 3 x 3 meter. Salah satunya kami gunakan untuk tidur semalam.
Tentu saja berukuran lebih besar dari dua kamar yang lain. Dipan kayu sederhana
terdapat di setiap kamar, kasur kapuk tipis berseprai kusam tampak menutup
permukaan kasur. Ada bantal tanpa guling dan satu selimut tebal berbulu yang
menghalau dingin tadi malam.
**
Kami tiba di Desa ini sudah senja. Setelah bersalaman
dengan tuan rumah Agus dan istrinya, kami dipersilahkan untuk menempati lantai
dua. Tidak ada yang berencana untuk mandi membersihkan diri setibanya di sana, semua semakin rapat
mengancing sweeter dan jaketnya; sementara aku pun sibuk mencari kaos kaki
untuk menutup jari yang pertama memberi rasa dingin.
Porelea..
Bersepuluh kami di tempatkan di desa ini. Kedatangan kami
sepertinya sudah diketahui pemerintah desa jauh-jauh hari. Karel, Kepala Desa
Porelea langsung mengarahkan kami ke rumah Agus yang ternyata merupakan kakak
kandungnya. Agus memiliki satu kamar mandi yang terletak di lantai satu
berdampingan dengan dapur, ku pikir salah satu alasannya pasti karena fasilitas
tersebut panitia menempatkan kami di sini. Sementara sebagian besar warga desa
yang lain, masih memanfaatkan pancuran umum untuk membersihkan diri, mencuci
dan sebagainya.
Malam itu kami ngobrol santai dengan Agus sang pemilik
rumah dan Karel. Kesempatan tersebut juga kami gunakan untuk menatap lekat
anggota tim yang sebelumnya tidak semua saling mengenal. Malam di tutup dengan
acara makan dan obrolan ringan yang kerap mengocok perut mengumbar tawa dari
teman-teman Karsa, lembaga yang menjadi tuan rumah dalam kegiatan Cross
Learning tersebut.
Suasana menjadi lebih terasa hangat, meski semilir angin
malam bebas menembus pintu dan jendela yang tak berkaca. Gorden yang tergantung di pintu dan jendela tidak
berfungsi maksimal, hembusan angin kerap menyibak kain gorden. Salah satu kawan
justru berinisiatif mengikat kain tersebut agar tidak kerap melambai. Alhasil
malam terasa makin sejuk, sementara di luar langit cerah dengan taburan bintang
selepas hujan gerimis mengguyur
perjalanan panjang kami menuju Porelea.
**
Tuk...tuk...tuk....tuk..., bunyi yang sama kembali
terdengar.
Bergegas ku turuni anak tangga belakang sambil setengah
berlari, sandalpun belum terjepit sempurna di kaki kiri. Dapur rumah Agus cukup
luas untuk ukuran rumah di kampung. Ada perapian kayu di ujung ruangan,
sementara tidak jauh dari itu kompor gas dengan tabung 10 kg juga ada di sana.
Satu meja kayu panjang, terletak di tengah ruangan. Bu
Agus meletakan gelas, cerek minum
berbahan almunium, toples kaca berisi kerupuk, keranjang berisi cabai dan
bawang juga diletakan di atas meja.
Sementara di sisi sudut dapur yang lain, ada rak piring
penuh dengan pekakas. Ada lemari kayu yang juga penuh dengan tumpukan piring
kaleng, blender tua dan baskom ukuran besar yang kurang tertata di atasnya.
Mataku langsung tertuju pada sumber bunyi...
Tuk...tuk...tuk...tuk.....ku lihat Agus sedang memegang
sepotong batang bambu dengan sebilah kayu bulat berukuran lebih kecil yang di
masukan berulang-ulang ke dalam tabung bambu tersebut. Tangan kiri dipergunakan
untuk memegang tabung bambu, sedang tangan kanan memegang erat kayu bulat kecil
yang berukuran lebih panjang di bandingkan tabung bambunya.
Gerakannya berulang, seperti sedang menumbuk sesuatu.
Tuk...tuk...tuk..., ternyata benda itulah yang menjadi
sumber bunyi. Agus sedang menumbuk cabai dan bawang untuk masak. Alat itu
berfungsi layaknya gilingan batu yang ku punya di rumah. Sementara Bu Agus
sedang duduk disebelahnya sambil memilah daun sawi antara yang berwarna hijau
dengan sebagian yang mulai menguning.
Owh.... alat itulah yang berbunyi sejak subuh tadi. Bukan
lesung padi...
Tapi bilah bambu sepanjang 40 cm yang berfungsi untuk
menumbuk dan menghaluskan bumbu dapur.
Perhatianku tidak lagi ke alat tumbuk tersebut, tapi
justru pada Agus. Sejak semalam Agus tampak sigap membantu istrinya mulai dari
mengeluarkan kopi, membawa makanan dan berulang kali turun naik ke lantai dua
untuk membawa piring-piring berisi makanan yang kami santap semalam.
Pemandangan pagi ini justru lebih mengherankan.
Agus menumbuk cabai, bumbu tumis yang akan di pakai
istrinya untuk memasak sawi. Rencana ingin ke kamar mandi jadi memaksaku duduk
di antara mereka. Bu Agus bercerita
kalau sawi tersebut diberikan oleh keponakannya semalam. Sawi yang di tanam
sendiri, bebas pestisida. Wajar kalau tumisan sawi yang kami santap tadi malam,
terasa lebih segar dan manis karena ternyata baru di petik dari ladang.
Ujung ekor mataku masih berusaha menangkap gerak dan
aktifitas Agus selanjutnya. Laki-laki itu mengangkat baskom plastik ke kamar
mandi. Selang kecil yang tak berhenti
mengeluarkan air tampak membasuh sesuatu yang berasal dari dalam baskom.
“Pak Agus memotong ayam kampung tadi, itu sedang di
cucinya”, istri Agus memberi penjelasan sebelum pertanyaan aku ajukan.
Wahh, luar biasa ku pikir laki-laki ini. Setelah menumbuk
bumbu sekarang ia pun membersihkan potongan ayam.
**
“selamat pagi Ibu,” sapaan itu cukup membuatku
terperangah karena disampaikan oleh anak perempuan kecil yang kuperkirakan baru
berumur 5 tahun.
Porelea memang berbeda..
Pagi itu ku putuskan jalan menelusuri jalan setapak rabat
beton di dalam desa untuk sekedar mencari keringat. Dan sepanjang itu sudah
puluhan orang menyapaku. Tidak hanya orang tua dan ibu muda, anak-anak
kecil’pun memberi senyum ramahnya. Satu tradisi yang sangat jarang kita temukan
di kota.
Beberapa bangunan rumah warga Porelea cukup menarik. Ada
yang berbahan utama kayu papan, ada yang berdinding bambu beranyam, ada yang
berdinding bata merah dan banyak rumah yang mengkombinasikan bahan-bahan
tersebut.
Atap rumah juga beragam. Mulai dari atap seng. Atap
bambu, ijuk dan yang paling unik menurutku adalah rumah beratap kayu. Seperti
halnya Lobo rumah adat mereka yang baru selesai diresmikan. Atap Lobo terbuat
dari potongan-potongan kayu tipis, berukuran sama yang di susun rapih
menyerupai genting.
Beberapa rumah panggung lama juga masih dihuni dan
terawat baik.
Rumah panggung yang umumnya berukuran kecil tersebut,
tegak berdiri pada pondasi batu tanpa cor. Tidak kutemukan potongan paku pada
kayu bangunan. Rumah-rumah lama itu menggunakan pasak. Kayu satu dengan kayu
lainnya saling terhubung layaknya puzzle. “Design anti gempa!”,ujar Budi staf Karsa
menjelaskan.
**
Porelea berpenduduk 984 jiwa atau sekitar 203 KK, 53% nya
adalah perempuan. Data itu berstabilo kuning pada profil desa yang Panitia
bagikan sebagai bahan informasi dari lokasi kunjungan. Di informasi itu juga
tertulis bahwa perempuan porelea memilki peran yang sama pentingnya dalam
kegiatan produktif maupun domestik dengan kelompok laki-laki.
Data profil itu mengingatkan kembali pada Agus, induk
semang dimana kami menginap.
Berumah tangga cukup lama, keluarga itu belum juga
diberikan keturunan. Tapi sikap dan cara Agus memperlakukan istrinya demikian
baik.
Karel juga menceritakan semalam, kalau Porelea
menempatkan perempuan pada posisi sangat mulia. “Hampir tidak ada angka
perceraian di sini, apalagi istilah kekerasan dalam rumah tangga!. Sangksi adat
untuk kekerasan seperti itu cukup berat ”, Karel menegaskan.
“jika perempuan meminta cerai lebih dahulu, maka adat
akan mengabulkan. Tapi jika laki-laki yang mengajukan cerai, maka dia harus
membayar denda berupa seluruh biaya hidup yang telah dikeluarkan pihak orang
tua atas anak perempuannya”, Tamasopia salah satu dewan adat Porelea
menjelaskan tentang posisi perempuan dalam hal perceraian.
Porelea juga punya 11 orang yang duduk dalam lembaga
adat. Tiga diantaranya adalah perempuan. Kuota 30% untuk perempuan sudah
berlangsung sejak lama di desa terpencil ini. Keberadaan perempuan di dewan
adat betul-betul di fungsikan, mereka punya hak bersuara dan duduk berdampingan
dengan laki-laki ketika Lobo menggelar rapat adat. Contoh nyata yang mengungkap
kebenaran cerita itu bisa saya lihat jelas pada Agus dan istrinya.
**
Agus dan istri menyelesaikan pekerjaan rumah tangga
bersama. Mengurus ladang dan mengambil hasil kebunpun kerap bersama-sama.
Ketika Bu Agus sedang sibuk di dapur, Agus kerap melayani pembeli yang
berkunjung ke warung kecil milik mereka.
“ini harganya berapa Bu?” Agus setengah berlari ke dapur
dan menyodorkan sepasang sandal perempuan barang dagangan warung yang hendak di
beli seorang warga.
Setelah mendapatkan informasi harga sandal, Agus kembali
bergegas ke depan untuk kembali melayani para pembeli di warungnya. Keduanya
tampak rukun dan harmonis. Pada satu malam menuju kamar mandi, tampak
pemandangan di mana keduanya sedang duduk nonton televisi bersama di lantai
dasar rumahnya.
Pemandangan yang ikut menyejukan hati dan memberi pesan
tauladan yang baik untuk pengamat seperti saya.
Porelea ohh.... Porelea,
rumah induk semang tempat kami bermalam’pun memberi pembelajaran yang
sangat berharga tentang kehidupan berumah tangga.
Ketiadaan anak dari hasil perkawinan tidak sedikitpun
merubah sikab dan mengurangi cinta kasih diantara keduanya. Semoga Porelea
tetap menjaga kebaikan dan keharmonisan diantara Agus dan Istrinya. ***