![]() |
Desa Peana dari atas (photo drone) |
Oleh Edo Yulanda
Kata beranak sudah tidak asing dari pendengaran kita dan
sering diabaikan, akan tetapi setelah saya menginjakkan kaki dan menghirup
udara segar di sebuah desa dengan ketinggian 800-1200 MDPL maka kata
'beranak" teringat kembali yang menurut masyarakat setempat diartikan "Peana". Konon ceritanya ada
seorang Topo ahu (pemburu) yang sedang berburu dan sampai ditempat yang tinggi
ia melihat adanya sebuah lembah datar yang sangat indah, dan mendirikan
pemukiman serta bercocok tanam ditempat tersebut. Setelah itu Topo ahu kembali
kerumah tempat asalnya serta menceritakan kepada keluarganya akan temuan yang
didapat saat berburu. Selang beberapa waktu keluarga topo aru memutuskan untuk
hijrah dan mendirikan pemukiman di lembah tersebut. Pada saat perjalanan menuju
lembah, rombongan mendengar suara perempuan yang sedang menangis dan ternyata
suara itu datang dari pinggiran sungai yang tak lain adalah seorang perempuan
yang sedang melahirkan. Sehingga sungai tersebut diberi nama "po
peana" yang berarti tempat melahirkan dipinggir sungai dan sejak saat itu
sungai yang terletak di lembah itu sendiri dinamakan sungai "Peana"
dan sekarang telah menjadi sebuah desa yang dinamakan Desa Peana.
Menurut masyarakat Pipikoro, Masyarakat Peana bertutur
dengan bahasa "Uma" dikalangan masyarakat Topo Uma penduduk Peana dan
Keturunannya, yang dikelompokkan sebagai topo uli yang dikenal sebagai dialek
yang lebih halus.
Dalam sejarahnya sebelum masukya pemerintah Hindia
Belanda, Peana merupakan pusat kerajaan Pipikoro. Masuknya Hindia Belanda tahun
1917 merubah kedudukan Pipikoro sebagai kerajaan otonom menjadi Sub-ordinasi
dari kerajaan Kulawi dibawah kepemimpinan
Madika Malolo (Raja Muda) yang membawahi 17 (Tujuh Belas) Kampung yang
ada di Pipikoro. Kepemimpinan Madika Malolo
berakhir pada tahun 1949 Sehubungan dengan berlakunya sistem Distrik
yang dipimpin oleh seorang Kepala Distrik dan berubah menjadi Kecamatan.Tahun
1952 Masyarakat Pipikoro sudah mulai menanam
Seperti Kakao, Kopi dan cengkeh.
Tahun 1971 masyarakat Pipikoro mulai bersentuhan dengan pedagang keliling, pertama kalinya mengenal pengobatan modern
dan kunjungan dokter ke Peana, serta
Bantuan Pemerintah dalam Program Bantuan Desa (Bandes). Tahun 2002 , Pipikoro
resmi menjadi Kecamatan dan Peana ditetapkan menjadi Ibu kota Kecamatan
pipikoro serta melalui Swadaya Masyarakat kualitas jalan Peana-Gimpu
ditingkatkan agar dapat dilalui kendaraan bermotor yang hasilnya masih
dirasakan hingga sekarang ini (tahun 2017) sebagai jalan umum untuk akses bagi
masyarakat.